image
Meiggy's Blog
image image image image
Sunday, June 10, 2007

Jakarta, 21 Mei 2004, 20.06 PM
Knock knock.
“Leta, papa boleh masuk? Ada yang papa mau bicarakan dengan kamu.” Suara papa terdengar dari luar pintu.
Letta yang sedang tiduran, bangkit lalu duduk,”Iya pa, masuk aja.”
Papa masuk ke kamar lalu duduk di samping Leta.
“Mau ngomong apa, pa?” tanya Leta sambil memeluk lututnya.
Papa masih diam.
“Pa?”
“Begini, papa dipindah kerjakan ke Australia dan papa ingin keluarga kita juga ikut pindah ke sana.” Kata papa dengan berat hati.“Australia, pa?” Leta mengulang. Telinganya seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Iya, Australia.” Jawab papa lagi.
“Tapi pindahnya masih lama kan? Bukan sekarang kan pa?” tanya Leta khawatir.
“2 minggu lagi papa sudah diminta sudah ada di Australia,”
Leta langsung lemas mendengar jawaban papa.
Berarti 2 minggu lagi gue harus pisah dengan Rei?!, teriak Leta dalam hati.
“Seminggu lagi papa akan mengurus surat-surat kepindahan dari sekolahmu. Papa harap kamu mau ikut dengan papa dan mama. Mama sangat ingin kamu ikut ke Australia. Kamu tahu kan penyakit mama mudah kambuh kalau sendirian? Papa harap kamu mengerti hal itu.” Kata Papa lalu beranjak keluar dari kamar Leta.
Setelah papa keluar, Leta menitikan airmata. Dia benar-benar bingung. Di satu pihak, dia tidak mau berpisah dengan Rei dan di satu pihak, Leta tidak mau memupuskan harapan orangtuanya yang sangat ingin dia ikut. Malam itu, Leta tidak bisa tidur memikirkan masalah ini.

Jakarta, 28 Mei 2004, 03.38 PM
Sore itu, restoran tidak terlalu ramai. Leta masih duduk sendiri. Dia memang sengaja datang lebih cepat karena masih bingung dengan masalah yang dihadapinya. Tiba-tiba matanya gelap, ditutupi tangan seseorang.
Leta tersenyum,”Hai Rei.” Lalu tangan itu pun terlepas.
“Kamu udah hapal kebiasaanku setiap kali ketemu ya?” Tanya Rei dengan tersenyum lalu menarik bangku di depan Leta dan duduk.
Leta hanya menatap Rei lalu ia tertunduk.
“Leta? Ada apa?” Rei memegang tangan Letta yang terlipat di seberangnya.
Leta mendongak dan Rei melihat Leta yang menahan tangis.
“Leta, kalo ada apa-apa ceritain aja. Mungkin aku bisa bantu.” Kata Rei, menenangkan Leta.
“Rei, seminggu lagi aku dan keluargaku harus pindah ke Australia. Papa dipindahkan kerja di sana. Aku harus ikut karna mama membutuhkan aku di sampingnya. Aku bingung, Rei” kata Leta, berusaha menahan airmatanya yang hampir jatuh.
“Australia?” Rei kaget mendengar berita itu.“Iya dan aku bingung. Aku nggak mau pisah dengan kamu tapi aku nggak bisa ninggalin mamaku juga. Apa yang harus aku lakuin, Rei?” tanya Leta khawatir.
Rei diam dan menatap jendela di sampingnya, berusaha memikirkan jalan keluar masalah ini. Saat dia menemukan jawaban yang tepat, dia menatap Leta.
“Leta, kamu pergi aja. Mamamu lebih membutuhkan kamu di sampingnya daripada aku.” Kata Rei dengan tegas.
Leta terhenyak mendengar jawaban itu. Dia tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti itu.
“Maksud kamu? Kamu nggak sayang aku, Rei?” tanya Leta.
“Aku sayang kamu, Ta. Coba kamu berpikir lebih dewasa, kita masih bisa bertemu lagi. Kalau kamu dan aku ditakdirkan bersama, kita pasti ketemu lagi. Aku tahu ini nyakitin buat kita tapi aku akan berusaha banget buat ketemu kamu. Percaya aku, kita bakal ketemu. Kamu percaya aku kan?” tanya Rei dengan menatap mata Leta, meminta kepercayaan dari Leta.
“Iya, aku percaya.” Jawab Leta sambil menghapus airmata yang berada di ujung matanya.
Rei tersenyum mendengar jawaban Leta,”Yuk kita makan.” Ajaknya.Leta mengangguk dan tersenyum.

Jakarta, 4 Juni 2004, 01.37 PM
Pertemuan Terakhir. Bandara Soekarno-Hatta.

Siang itu awan abu-abu menutupi Jakarta seakan mengerti kesedihan Leta. Leta tertunduk lesu di lobby bandara. Papa dan mama duduk diam di samping kanan dan kiri Leta, mengerti kesedihan Leta meninggalkan Indonesia, yang sebenarnya bukan karena alasan tersebut.
“Pa, aku mau ke kamar kecil bentar ya.” Kata Leta sambil beranjak berdiri.
Papa mengangguk pelan. Leta berjalan dengan diam. Dalam pikirannya hanya ada Rei.
Beberapa saat kemudian, setelah keluar dari kamar mandi, ia berjalan kembali ke tempat papanya. Tiba-tiba matanya ditutup tangan seseorang. Leta tersenyum.
“Rei?”
“Hai, Leta. Surprise,” Rei melepaskan tangannya dari wajah Leta.
Leta berbalik dan tersenyum sedih menatap Rei.
“Leta jangan sedih donk. Inget kan janji aku ke kamu. Kita bakal ketemu lagi, I’m promise.” Kata Rei sambil memegang kedua bahu Leta.
“Iya, aku percaya. Aku sedih aja harus pergi, ninggalin kamu, Chel, dan yang lainnya.” Kata Leta sambil tersenyum lagi tapi kali ini dengan wajah yang agak ceria.“Kamu dan Chel kan udah buat farewell party semalam dan aku yakin dia nggak bakal ngelupain kamu.
She always be your best friend.” Kata Rei, menenangkan Leta.
Leta tersenyum,”You can always makes me calm down, Rei. Thanks so much.”
Tiba-tiba Rei memeluknya,”Sebenernya aku sedih banget kamu pergi tapi aku tahu kamu selalu sayang sama aku dan nggak bakal ngelupain aku.” Kata Rei dalam pelukan mereka berdua.
Mata Leta panas saat Leta mendengar kata-kata Rei. “Iya, aku selalu sayang kamu dan nggak bakal ngelupain kamu. Our love can’t be separated by distance.”
Rei melepas pelukannya dan mencium dahi Leta. “I love you, Ta.” Gumam Rei di dahi Leta.“Bye, Rei.” Pamit Leta dalam isak tangisnya.

Perth, 12 April 2006, 03.39 PM
Hari ini Leta berjalan-jalan di sekitar taman dekat asramanya. Kuliah di Australia menyebabkan Leta harus tinggal di asrama. Walaupun begitu , seminggu sekali Leta pulang ke rumah orangtuanya.
Hmm..sepertinya hari ini sedikit berangin, pikir Leta saat angin memainkan rambut sebahunya.
Leta berdiri diam, menikmati angin yang tidak terlalu dingin menerpa tubuhnya. Sesaat ia bisa merasakan kehadiran Rei di sekitarnya. Saat ia menoleh ke sekitarnya, ia tersenyum.
Nggak mungkin kan Rei di sini?, tanya Leta dalam hati. Walaupun ia ingin sekali percaya kalau Rei ada di dekatnya.
Leta berjalan lagi, menikmati pemandangan di taman itu. Tiba-tiba mata Leta gelap, tertutup tangan seseorang. Leta kaget dan terdiam.
Siapa?, tanya Leta dalam hati, sedikit khawatir.
“Re-, Rei?” tebak Leta takut-takut.
“Ternyata kamu masih ingat aku, Ta.” Jawab Rei sambil melepas tangan dari wajah Leta.
Leta langsung berbalik dan menatap Rei. “Kamu bukan mimpi kan? Kamu beneran Rei?” Airmata sudah mengalir di pipi Leta.
Rei tersenyum sambil menghapus airmata di pipi Leta. “Iya, ini aku Rei dan aku bukan mimpi.”
Leta memeluk Rei dengan tangis bahagia. “Aku kangen.” “Aku juga.” Rei membalas pelukan Leta.
-The End-
special for my cousin...

1:29 PM


Perth, 9 April 2006, 04.36 PM
Cuaca mendung hari ini menyebabkan Leta benar-benar malas melakukan sesuatu selain duduk di samping jendela sambil menikmati teh chamomile ditemani Ipod, menatap langit kelabu di atas sana.
“Leta? Ngapain lu duduk bengong di samping jendela gitu?” Tanya suara yang berasal dari orang yang baru membuka pintu kamarnya.
“Nggak kok, cuman diem aja sambil natap langit.” Jawabnya tanpa menoleh kea rah suara tersebut, yang ia tahu sebagai suara room-matenya, Tania.
“Dasar anak aneh..” komentar Tania sambil menaruh kantong belanjanya di tempat tidur.
Leta hanya diam saja menanggapi komentar sahabatnya yang kadang-kadang sedikit tajam. Ia hanya tersenyum.
“Cuaca waktu itu juga seperti ini…” gumam Leta sambil menutup mata.
“Hah? Seperti kapan?” Tanya Tania, penasaran. Dia berjalan dan duduk di depan Leta.
“Seperti waktu mengucapkan selamat tinggal ke dia..”

Jakarta, 12 April 2004, 01.46 PM
Pertemuan Pertama.
Siang itu food center di Pondok Indah Mall 2, atau yang lebih dikenal dengan sebutan PIM 2, tidak ramai seperti biasanya. Hanya ada beberapa orang yang sedang menikmati makanannya di food center yang besar itu. Chel dan Leta termasuk di antara mereka.
“Chel, mau ngapain sih ke PIM 2 hari senin gini? Liat deh, sepi banget..” protes Leta lalu menyeruput soft drink di hadapannya.
Chel tidak menyahut, dia sedang asyik menikmati es campur.
“Chel?!” Leta mengeraskan suaranya.
“Hah?” Chel baru ngeh dengan suara Leta. “Udah lah Leta, anggap aja refreshing di hari senin gini..” katanya lalu kembali melanjutkan aktivitas makannya.
Leta menanggapi komentar sahabatnya dengan mulut manyun. Pasti ada apa-apanya dia ngajak gue pergi siang-siang bolong gini, pikir Leta. Nggak mungkin kan cuma mau makan es campur?!
Tiba-tiba terdengar suara maskulin yang datang dari arah belakang Leta,”Chel?”
Otomatis, Leta menoleh ke arah suara tersebut dan dia hanya bisa terdiam. Gila, nih cowok keren banget, pikir Leta saat menoleh ke belakang.
“Rei?” Chel baru sadar kalau ada orang yang memangilnya.
“Yup, It’s me.” Kata cowok itu dengan senyum manis.
“Ya ampun Rei…apa kabar? Gila lu sekarang, udah keren banget. Bukan cowok chubby kayak dulu lagi.” Komentar Chel, agak sedikit kaget dengan perubahan teman masa kecilnya.
“Gue baik. Duh, jangan bilang-bilang gue chubby waktu kecil dulu dong, ntar jatuh lagi image gue..hahahaha..” Kata Rei lalu tertawa lepas. Dia menarik kursi di antara Leta dan Chel lalu duduk.
“Duh Rei..sejak kapan lu jadi narsis gini?” Tanya Chel dengan nada tidak percaya lalu tertawa juga.
“Chel, kok temen lu nggak dikenalin ke gue? Kenalin dong.” Tanya Rei saat melihat Leta hanya diam saja sejak dia datang.
“Oh iya, Rei kenalin ini Leta. Tepatnya Angela Violeta Prasetya.” Kata Chel memperkenalkan Leta, yang tersenyum dasar-lu ke dia.
“Leta.”
“Gue Rei.” lalu mereka bersalaman.
“Nggak ada embel-embel lain? Just Rei?” Tanya Leta, penasaran.
“Yup, just Rei.” Jawab Rei lalu tersenyum.
Duh, ini cowok demen amat senyam senyum, bikin jantung gue dag-dig-dug aja, pikir Leta saat lihat senyum Rei lagi.
“Rei, Leta, kita jalan aja yuk! Ngobrolnya sambil jalan kan sambil menyelam minum air. Berhubung gue juga mau ke toko buku dulu nih..” Ajak Chel ke mereka berdua.
“Wah, sejak kapan Chel mulai baca buku?” goda Rei sambil bangkit dari kursi. Chel cuma menjulurkan lidah menanggapi godaan Rei.
It’s gonna be a wonderful day today, pikir Leta sambil mengambil tas dan tersenyum.

Jakarta, 23 April, 03.40 PM
Pertemuan Kedua.
Seorang gadis berjalan tergesa-gesa di antara keramaian pengunjung Mall Kelapa Gading 3. Sesekali ia melihat jam tangan dan setelah itu ia berjalan lebih cepat.
Waduh, gue telat nih…pasti mereka bakal ngomel deh, pikir Leta saat melihat jam tangannya.
“Aduh…” kata Leta saat dia menabrak orang di depannya.
“Ups, I’m sorry.” Kata suara tersebut.
“It’s-,” Leta terdiam. Kayaknya gue kenal tuh suara, pikirnya. Seperti suara cowok it-
“Leta?” suara itu memanggil namanya.
Leta mendongakkan kepala,”Rei?”
“Hai, lu nggak apa-apa kan? Tadi gue nggak gitu perhatiin jalan jadi nabrak lu.” Tanya Rei, agak khawatir.
“Nggak kok, gue nggak apa-apa. Gue yang salah kok.” Kata Leta sambil tersenyum.
“Lagi ngapain? Sendirian?” tanya Rei sambil menatap Leta dan tersenyum.
“Iya dan nggak. Gue mau ketemu bonyok gue di restoran Jepang gitu. Gue janjian makan dengan mereka.” Jawab Leta lalu melihat jam tangan lagi.
“Buru-buru?”
“Kind of.” Tiba-tiba handphone Leta berbunyi.
Leta cepat-cepat mengambil handphone dari dalam tas dan menerima telpon
”Iya mom, bentar lagi kok. Aku lagi jalan ke sana. Oke, bye,” Leta menutup telpon. “Sori, gue mesti pergi sekarang.” Kata Leta dengan tampang menyesal.
“It’s ok. Boleh minta nomor handphone lu? Biar gampang hubungin lu.”
“Ooh boleh.0817119061. Sori tapi gue harus jalan sekarang. Bye..” kata Leta lalu memasukan handphone ke dalam tas dan beranjak pergi.
“Bye, Leta. Thanks for your number!” kata Rei, agak sedikit berteriak karena Leta sudah agak jauh.
Leta berbalik dan tersenyum. Ia berjalan mundur dan mengangkat ibu jarinya lalu berbalik kembali.
“You have the best smile I’ve ever seen.” Guman Rei lalu tersenyum.

Tidak sampai seminggu setelah Leta memberikan nomor handphonenya ke Rei., mereka berdua sudah akrab satu sama lain. Pertama, Rei meng-sms Leta hanya untuk memberitahukan nomor yang tidak sempat ia berikan waktu itu. Setelah itu, mereka bercerita banyak. Mulai dari masa kecil sampai hal-hal yang membuat mereka merasa adanya kesamaan. Ternyata, Rei dan Leta sama-sama suka ngerjain orang. Itu terbukti mereka pernah bertukar cerita lewat sms bagaimana mereka ngerjain orang-orang di sekitar mereka. Leta juga baru tahu kalau Rei itu yatim piatu. Orangtuanya tewas dalam kecelakaan pesawat. Rei berusia 10 tahun waktu peristiwa itu terjadi. Sekarang Rei tinggal dengan bibinya yang menganggapnya anak sendiri. Walau hidupnya tidak berkelimpahan tapi Rei sangat menyayangi bibinya yang memberikan ia banyak kasih sayang.
Menurut Leta, Rei itu benar-benar tegar. Walaupun ia telah kehilangan orang tua sejak kecil, ia mampu memberikan senyum yang begitu tulus kepada orang lain. Well, menurutnya itu tidak dapat dilakukan kalau kita tidak bisa mensyukuri apa yang telah kita terima dalam hidup ini.
Dan bagian yang paling membahagiakan buat Leta, sabtu ini dia bakal jalan berdua dengan Rei!!! Duh, bakal jadi malam yang nggak terlupakan banget, pikir Leta lalu tertawa lepas. Papa dan mama Leta hanya geleng-geleng kepala mendengar tawa anaknya dari atas.

Jakarta, 1 Mei 2004, 1.17 PM
Pertemuan Ketiga.
Leta sedang melihat-lihat buku novel yang sedang dipajang di etalase Gramedia Kelapa Gading. Ia tersenyum saat matanya menangkap satu buku novel yang dipajang, novel yang sangat ia tunggu-tunggu. Tiba-tiba matanya gelap, ditutupi tangan seseorang.
“Rei?” tebak Leta lalu memegang tangan itu dan menyingkirkannya dari wajahnya. Ia berbalik.
“Kok tahu sih?” tanya Rei sambil tersenyum jahil.
“Hmm just guessed.” Jawab Leta lalu tersenyum jahil juga.
Pasti aku tahu kalau itu kamu..hatiku yang mengatakannya, kata Leta dalam hati.
Hari itu, Rei dan Leta benar-benar have fun. Pertama, Rei mengusulkan bermain di Timezone. Letta yang nggak terlalu suka main di Timezone menolak usul itu. Rei berjanji, kalau permainan itu bakal jadi lebih fun dan ternyata memang!! Rei memainkan permainan itu dengan gaya-gaya yang konyol sampai perut Leta sakit karena kebanyakan ketawa.
Kedua, Rei mengajaknya makan es serut di Food Court Kelapa Gading 3. Ia mengajak Leta berlomba siapa yang lebih cepat meghabiskan es serut. Leta yang tidak bisa makan es dengan cepat tentu saja kalah. Rei bersorak waktu ia menang. Leta hanya tertawa melihat tingkah Rei. Tidak disangka, Rei ternyata minta hadiah. Leta hanya bisa pasrah.
“Lu mau apa? Tapi jangan yang mahal-mahal ya.” Kata Leta yang sudah wanti-wanti akan hadiah yang diminta Rei.
“Nggak kok, nggak mahal. Sini, gue bisikin.” Kata Rei menarik lengan Leta.
Leta mendekatkan telinga ke mulut Rei. Tiba-tiba Letta tersenyum dan mukanya memerah.
“Gimana? Gimana?” tanya Rei tidak sabar.
“Iya, gue mauuu.” Jawab Letta sambil mencubit salah satu pipi Rei. Rei tersenyum senang mendengar jawaban itu.
Bisikan itu tidak akan pernah Leta lupakan. Bisikan yang berkata,”Gue mau lu sayang sama gue. Sayang bangeett. Love you.”

-to be continued-

1:15 PM